Social Icons

Sabtu, 21 Januari 2012

SABAR DAN ALQURAN

“…Dan para malaikat masuk kepada tempat-tempat mereka dari semua pintu (sambil mengucapkan); keselamatan atas kalian berkat kesabaran kalian. Maka alangkah baiknya tempat kesudahan itu.” (QS. Ar-Ra’d [13]:23-24)
Sabar termasuk akhlak yang paling utama yang banyak mendapat perhatian Al-Qur’an dalam surat-suratnya. Imam al-Ghazali berkata, “Allah swt menyebutkan sabar di dalam al-Qur’an lebih dari 70 tempat.”
Ibnul Qoyyim mengutip perkataan Imam Ahmad: “Sabar di dalam al-Qur’an terdapat di sekitar 90 tempat.”
Abu Thalib al-Makky mengutip sebagian perkataan sebagian ulama: “Adakah yang lebih utama daripada sabar, Allah telah menyebutkannya di dalam kitab-Nya lebih dari 90 tempat. Kami tidak mengetahui sesuatu yang disebutkan Allah sebanyak ini kecuali sabar.”

Sabar menurut bahasa berarti menahan dan mengekang. Di antaranya disebutkan pada QS.Al-Kahfi [18]: 28 “Dan tahanlah dirimu bersama dengan orang-orang yang menyeru Rabbnya di pagi dan di senja hari dengan mengharap keridhaanNya, dan janganlah kedua matamu berpaling dari mereka.”
Kebalikan sabar adalah jaza’u (sedih dan keluh kesah), sebagaimana di dalam firman Allah QS. Ibrahim [14]: 21, “…sama saja bagi kita mengeluh ataukah bersabar. Sekali-kali kita tidak mempunyai tempat untuk melarikan diri.”
Macam-macam Sabar Dalam al-Qur’an
Aspek kesabaran sangat luas, lebih luas dari apa yang selama ini dipahami oleh orang mengenai kata sabar. Imam al-Ghazali berkata, “Bahwa sabar itu ada dua; pertama bersifat badani (fisik), seperti menanggung beban dengan badan, berupa pukulan yang berat atau sakit yang kronis. Yang kedua adalah al-shabru al-Nafsi (kesabaran moral) dari syahwat-syahwat naluri dan tuntutan-tuntutan hawa nafsu. Bentuk kesabaran ini (non fisik) beraneka macam;
Jika berbentuk sabar (menahan) dari syahwat perut dan kemaluan disebut iffah
Jika di dalam musibah, secara singkat disebut sabar, kebalikannya adalah keluh kesah.
Jika sabar di dalam kondisi serba berkucukupan disebut mengendalikan nafsu, kebalikannya adalah kondisi yang disebut sombong (al-bathr)
Jika sabar di dalam peperangan dan pertempuran disebut syaja’ah (berani), kebalikannya adalah al-jubnu (pengecut
Jika sabar di dalam mengekang kemarahan disebut lemah lembut (al-hilmu), kebalikannya adalah tadzammur (emosional)
Jika sabar dalam menyimpan perkataan disebut katum (penyimpan rahasia)
Jika sabar dari kelebihan disebut zuhud, kebalikannya adalah al-hirshu (serakah)
Kebanyakan akhlak keimanan masuk ke dalam sabar, ketika pada suatu hari Rasulullah saw ditanya tentang iman, beliau menjawab: Iman aadalah sabar. Sebab kesabaran merupakan pelaksanaan keimanan yang paling banyak dan paling penting. “Dan orang-orang yang sabar dalam musibah, penderitaan dan dalam peperangan mereka itulah orang-orang yang benar imannya, dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa” (QS. Al-Baqarah [2]: 177)
Dari itu kita dapat memahami mengapa al-Qur’an menjadikan masalah sabar sebagai kebahagiaan di akhirat, tiket masuk ke surga dan sarana untuk mendapatkan sambutan para malaikat. Dalam surat Al-Insan [72]: 12 “Dan Dia memberi balasan kepada mereka atas kesabaran mereka dengan surga dan (pakaian) sutera”. Dalam surat Ar-Ra’d [13]:23-24 “…Dan para malaikat masuk kepada tempat-tempat mereka dari semua pintu (sambil mengucapkan); keselamatan atas kalian berkat kesabaran kalian. Maka alangkah baiknya tempat kesudahan itu.”
Sabar, Suatu Kekhasan Manusia
Sabar adalah kekhasan manusia, sesuatu yang tidak terdapat di dalam binatang sebagai faktor kekurangannya, dan di dalam malaikat sebagai faktor kesempurnaannya.
Binatang telah dikuasai penuh oleh syahwat. Karena itu, satu-satunya pembangkit gerak dan diamnya hanyalah syahwat. Juga tidak memiliki “kekuatan” untuk melawan syahwat dan menolak tuntutannya, sehingga kekuatan menolak tersebut bisa disebut sabar.
Sebaliknya, malaikat dibersihkan dari syahwat sehingga selalu cenderung kepada kesucian ilahi dan mendekat kepada-Nya. Karena itu tidak memerlukan “kekuatan” yang berfungsi melawan setiap kecenderungan kepada arah yang tidak sesuai dengan kesucian tersebut.
Tetapi manusia adalah makhluk yang dicipta dalam suatu proses perkembangan; merupakan makhluk yang berakal, mukallaf (dibebani) dan diberi cobaan, maka sabar adalah “kekuatan” yang diperlukan untuk melawan “kekuatan” yang lainnya. Sehingga terjadilah “pertempuran” antara yang baik dengan yang buruk. Yang baik dapat juga disebut dorongan keagamaan dan yang buruk disebut dorongan syahwat.
Pentingnya Kesabaran
Agama tidak akan tegak, dan dunia tidak akan bangkit kecuali dengan sabar. Sabar adalah kebutuhan duniawi keagamaan. Tidak akan tercapai kemenangan di dunia dan kebahagaiaan di akhirat kecuali dengan sabar.
Al-Qur’an telah mengisyaratkan pentingnya kesabaran ini. Ketika mengyinggung masalah penciptaan manusia dan cobaan penderitaan yang akan dihadapinya. Dalam surat Al-Insaan [76]: 2 “Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari setetes mani yang tercampur yang Kami hendak mengujinya )dengan perintah dan larangan)”.
Pentingnya Kesabaran Bagi Orang Beriman.
Sudah menjadi sunnatulah bahwa kaum muslimin harus berhadapan dengan para musuhnya yang jahat yang membuat makar dan tipu daya. Seperti Allah menciptakan Iblis untuk Adam; Namrud untuk Ibrahim; Fir’aun untuk Musa dan Abu Jahal untuk Muhammad saw.
Dalam Surat al-Ankabut [29]]: 1-3 “Ali Laam Miim. Apakah manusia mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan; kami telah beriman, padahal mereka belum diuji lagi? Dan sesungguhnya Kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya dia mengetahui orang-orang yang dusta.

Kamis, 05 Januari 2012

akhlaq yang harus dimiliki seorang penghafal alquran

Berakhlak dengan Akhlak Al Quran
Orang yang menghapal Al Quran hendaklah berakhlak dengan akhlak Al Quran. Seperti Nabi Muhammad Saw. Aisyah r.a. pernah ditanya tentang akhlak Rasulullah SAW, ia menjawab: “Akhlak Nabi Saw adalah Al Quran”. Penghapal Al Quran harus menjadi kaca yang padanya orang dapat melihat aqidah Al Quran, nilai-nilainya, etika-etikanya, dan akhlaknya, dan agar ia membaca Al Quran dan ayat-ayat itu sesuai dengan perilakunya, bukannya ia membaca Al Quran namun ayat-ayat Al Quran melaknatnya.
Dari Abdullah bin Amru bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Siapa yang membaca (menghapal) Al Quran, berarti ia telah memasukkan kenabian dalam dirinya, hanya saja Al Quran tidak diwahyukan langsung kepadanya. Tidak sepantasnya seorang penghapal Al Quran ikut marah bersama orang yang marah, dan ikut bodoh bersama orang yang bodoh, sementara dalam dirinya ada hapalan Al Quran “.
Makna kata “yajidu” adalah dari al wajd atau al wijdan, yang berarti: amat marah atau amat sedih. Dengan pengertian ia dikuasai oleh perasaannya, dan hal itu mempengaruhi perilakunya.
Ibnu Mas`ud r.a. berkata: penghapal Al Quran harus dikenal dengan malamnya saat manusia tidur, dan dengan siangnya saat manusia sedang tertawa, dengan diamnya saat manusia berbicara, dan dengan khusyu`nya saat manusia gelisah. Penghapal Al Quran harus tenang dan lembut, tidak keras, tidak sombong, tidak bersuara kasar atau berisik dan tidak cepat marah.
Ibnu Mas`ud r.a. seakan sedang berbicara kepada dirinya sendiri, karena ia adalah salah seorang imam penghapal Al Quran, dan ia menjadi orang yang betul-betul sesuai dengan prediket penghapal Al Quran. Ibnu Mas`ud juga mengecam orang-orang yang: Al Quran diturunkan kepada mereka agar mereka mengamalkan isinya, namun ia hanya menjadikan kegiatan mempelajari Al Quran itu sebagai amalnya! Salah seorang dari mereka dapat membaca Al Quran dari awal hingga akhirnya tanpa salah satu huruf-pun, namun ia tidak mengamalkan apa yang terdapat dalam Al Quran itu!
Seorang zahid yang terkenal; Fudhail bin `Iyadh, berkata: pembawa (penghapal) Al Quran adalah pembawa bendera Islam, maka ia tidak boleh bermain-main bersama orang-orang yang senang bermain, tidak lupa diri bersama orang yang lupa diri dan tidak bercanda bersama orang yang bercanda, sebagai bentuk penghormatan terhadap hak Al Quran.
Ia berkata: seorang penghapal Al Quran harus tidak butuh kepada orang lain, tidak kepada para khalifah, dan tidak pula kepada orang yang lebih rendah kedudukannya. Sebaliknya, ia harus menjadi tumpuan kebutuhan orang.
Sebagian salaf berkata: “ada seorang hamba yang saat memulai membaca satu surah Al Quran, maka malaikat akan terus berdoa baginya hingga ia selesai membacanya. Dan ada orang yang membaca satu surah Al Quran, namun malaikat terus melaknatnya hingga ia selesai membacanya”. Seseorang bertanya kepadanya: “mengapa bisa terjadi seperti itu?”. ia menjawab: “Jika ia menghalalkan apa yang dihalalkan Al Quran dan mengharamkan apa yang diharamkan Al Quran maka malaikat akan berdoa baginya, namun jika sebaliknya maka malaikat akan melaknatnya!”.
Sebagian ulama berkata: ada seseorang yang membaca Al Quran dan ia sedang melaknat dirinya sendiri, dengan tanpa sadar. Ia membaca: “ala la`natullah `ala azh zhaalimiin” (sesungguhnya laknat Allah diberikan kepada orang-orang zalim), sementara ia adalah orang yang zalim! dan membaca “ ala la`natullah ala al mukdzibiin” (sesunguhnya laknat Allah ditimpakan kepada para pendusta), sementara ia termasuk golongan yang mendustakan itu!
Inilah makna perkata Anas bin Malik r.a.: Ada orang yang membaca Al Quran, dan Al Quran itu melaknatnya! Al Hasan berkata: Kalian menjadikan membaca Al Quran sebagai stasion-stasion, dan menjadikan malam sebagai unta (kendaraan), yang kalian kendarai, dan dengannya kalian melewati stasion-stasion itu. sementara orang-orang sebelum kalian jika melihat risalah-risalah dari Rabb mereka, maka mereka segera mentadabburinya pada malam hari, dan melaksanakan isinya pada siang hari!
Maisarah berkata: Yang aneh adalah Al Quran yang terdapat dalam diri orang yang senang melakukan perbuatan dosa! Keanehan itu terjadi karena Al Quran berada di satu lembah, sementara akhlak penghapal Al Quran itu dan perilakunya berada di lembah lain! Abu Sulaiman Ad Daarani berkata: Neraka Zabbaniah lebih cepat dimasuki oleh penghapal Al Quran –yang melakukan maksiat kepada Allah SWT—dibandingkan penyembah berhala, saat mereka melakukan maksiat kepada Allah SWT setelah membaca Al Quran!
Sebagian ulama berkata: Jika seorang anak Adam membaca Al Quran kemudian ia berlaku buruk, setelah itu ia kembali membaca Al Quran, Dia berkata kepada orang itu: “Apa hakmu membaca firman-Ku, sementara engkau berpaling dari-Ku?!”. Ibnu Rimah berkata: Aku menyesal telah menghapal Al Quran, karena aku mendengar bahwa orang-orang yang menghapal Al Quran akan ditanyakan dengan pertanyaan-pertanyaan sama yang diajukan kepada para Nabi pada hari kiamat!.
Tidak aneh jika para penghapal Al Quran dari kalangan sahabat adalah mereka yang berada di barisan pertama saat shalat di Masjid, yang berada di garis terdepan saat jihad, dan orang yang pertama melakukan kebaikan di tengah masyarakat. Dalam sebagian peperangan perluasan wilayah Islam, ada orang yang berteriak: wahai para penghapal surah Al Baqarah, hari ini sihir tidak telah lenyap! Seperti terjadi pada perang Yamamah yang terkenal dan dalam perang melawan kelompok murtad. Huzaifah berkata pada hari yang menegangkan itu: wahai para penghapal Al Quran, hiasilah Al Quran dengan amal perbuatan kalian. Pada hari Yamamah (peperangan melawan gerakan riddah) Salim maula Abi Huzaifah, saat ia membawa bendera pasukan Islam, ditanya oleh kaum Muhajirin: “Apakah engkau tidak takut jika kami berjalan di belakangmu?” Ia menjawab: “Sepaling jelek penghapal adalah aku, jika aku sampai berjalan di belakang kalian dalam perang ini!”.
Dalam peperangan Yamamah, saat memerangi Musailimah al Kazzab, sejumlah besar penghapal Al Quran mendapatkan mati syahid, karena mereka selalu berada di barisan terdepan. Hingga ada yang mengatakan: mereka berjumlah tujuh ratus orang. Inilah yang mendorong dilakukannya pembukuan Al Quran, karena ditakutkan para penghapal Al Quran habis dalam medan jihad.
Cara menghapal mereka membantu mereka untuk melaksanakan isi Al Quran itu. Perhatian mereka tidak hanya untuk menghapal kalimat-kalimat dalam Al Quran itu saja. Namun yang mereka perhatikan adalah memahami makna dan mengikutinya, baik dalam bagian perintah maupun larangan.
Imam Abu Amru Ad Dani menulis dalam kitabnya “Al Bayan” dengan sanadnya  dari Utsman dan Ibnu Mas`ud serta Ubay r.a.: Rasulullah SAW membacakan kepada mereka sepuluh ayat, dan mereka tidak meninggalkan ayat itu untuk menghapal sepuluh ayat selanjutnya, hingga mereka telah belajar untuk menjalankan apa yang yang terdapat dalam sepuluh ayat itu. Mereka berkata: kami mempelajari Al Quran dan beramal dengannya sekaligus.
Abdurrazzaq meriwayatkan dalam Mushannafnya dari Abdurrahman As Sulami, ia berkata: Kami, jika mempelajari sepuluh ayat Al Quran, tidak akan mempelajari sepuluh ayat selanjutnya, hingga kami mengetahui halal dan haramnya, serta perintah dan larangannya (terlebih dahulu).
Dalam kitab Muwath-tha Malik ia mengatakan: disampaikan kepadanya bahwa Abdullah bin Umar mempelajari surah Al Baqarah selama delapan tahun. Hal itu terjadi karena ia mempelajarinya untuk kemudian mengamalkan kandungannya, ia memerintahkan dengan perintahnya, dan melarang dari larangan-larangannya, dan berhenti pada batas-batas yang diberikan oleh Allah SWT.
Oleh karena itu Ibnu Mas`ud berkata: Kami merasa kesulitan menghapal Al Quran, namun kami mudah menjalankan isinya. Sedangkan orang setelah kami merasakan mudah menghapal kalimat-kalimat Al Quran, namun mereka kesulitan untuk menjalankan isinya.
Dari Ibnu Umar ia berkata: Orang yang mulia dari sahabat Rasulullah SAW dari generasi pertama umat ini, hanya menghapal satu surah dan sejenisnya, namun mereka diberikan rezki untuk beramal sesuai dengan Al Quran. Sementara generasi akhir dari umat ini, mereka membaca Al Quran, dari anak kecil hingga orang buta, namun mereka tidak diberikan rezki untuk mengamalkan isinya!
Mu`adz bin Jabal berkata: “Pelajarilah apa yang kalian hendaki untuk diketahui, namun Allah SWT tidak akan memberikan pahala kepada kalian hingga kalian beramal!”.

Comment Please